BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Perkembangan
kehidupan masyarakat semakin hari semakin bertambah. Hal ini sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia sebagai salah satu anggota
dan komponen yang amat berpengaruh dalam suatu gugusan masyarakat tertentu.
Kebutuhan yang bertambah itu akan membawa persoalan pemenuhannya. Kalau
sumber-sumber itu tersedia tidak banyak menimbulkan masalah akan tetapi jika
sumber itu mulai langka mulai timbul masalah bagi manusia dan masyarakat. Jika
persoalan itu manusia mengakumulasi menumpuk terus menerus dan menjadi
persoalan masyarakat dan kemudian jika mengkristal menjadi persoalan Negara
atau pemerintah mulailah manusia menyadari ketertiban birokrasi dan
administrasi Negara.
Etziomi Amitai (1964) pernah berujur manusia hidup ini
selalu membutuhkan organisasi atau birokrasi pemerintah. Begitu manusia lahir
dia membubuhkan catatan keorganisasi pemerintah tentang akte kelahiran, masuk
sekolah mendaftar keorganisasi pemerintah dibidang pendidikan, mau nikah butuh
pekerjaan urusan agama, meninggal dunia pun masih membutuhkan upaya kantor
pemerintah. Betapa hebat dan menyeluruhnya urusan organisasi pemerintah itu
mengintervensi kehidupan dan kematian seseorang.
Gerald Caiden (1982) pernah juga menyatakan bahwa
pekerjaan organisasi pemerintah itu tidak bisa dihindari oleh manusia ini. Ciri
khas kegiatan organisasi atau birokrasi pemerintah itu menelusuf melalui
relung-relung kehidupan manusia. Ciri ini yang membedakan antara organisasi
birokrasi pemerintah dengan organisasi non pemerintah termasuk organisasi
perusahaan. Hanya saja ciri yang khas ini sekaligus menunjukan sifat monopoli
yang menjadikan mau tidak mau orang harus puas dengan pelayanan birokrasi
pemerintah. Tidak peduli apakah pelayanan cepat atau lambat, memuaskan atau
menjengkelkan, menghargai manusia atau tidak peduli kepada manusia yang
dilayani. Perilaku system birokrasi itu memang sangat memperdulikan sifat-sifat
impersonal.
Max Weber (1947) system birokrasi itu tidak mengenal
perilaku personal, sangat formal dan sesuai dengan orde-prosedural. Perilaku
birokrasi Webrian itu selalu berorientasi etatisme legalistic. Karena
pendekatan birokrasi yang dianut oleh banyak pemerintah itu orde-prosedural
yang didasarkan pada aturan atau peraturan menjadi sifat yang tidak bisa
ditinggalkan.
Orde-prosedural merupakan yang mengatur masyarakat ini
untuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan dan perilaku kerja para birokrat dalam
hubungan dengan masyarakat. Di sini masnusia yang ada didalam masyarakat kota
maupun desa tidak bisa mengajukan alternative yang memihak kepadanya. Sehingga
tatanan orde ini yang bersifat mengatur dan menentukan struktur social yang
tidak imbang, atau tidak sinergik dengan keinginan dan aspirasi masyarakat yang
diatur.
Lembaga dan system birokrasi pemerintah orde baru ini
terkenal dengan system yang mempunyai monopoli kekuasaan yang besar diperkuat
dengan mempunyai deskresi atau kebebasan untuk memutus yang luar biasa. Akan
tetapi tidak diikuti oleh adanya rasa akontabilitas public dan diperkuat dengan
tidak adanya sarana control yang dilaksanakan masyarakat.
Birokrasi seperti ini menurut Kliitgaart (1988) jelas
akan menyuburkan korupsi. Selain itu selama pemerintah orde baru birokrasi kita
sangat besar dan mudah memperoleh dana anggaran. Ketika itu setiap tahunnya,
anggaran belanja Negara untuk masing-masing departemen naik paling sedikit 10%
dari dana tahun yang lalu. Jadi dapat disimpulkan bahwa para birokratnya “keceh
duwit”. Lembaga birokrasi semacam itu
perlu diperbaharui, jika kita ingin mengurangi atau memberantas korupsi.
Kasus yang menimpa Komisi Pemilihan Umum (KPU), suap di
Komisi Yudisial dan Kejasaan Agung semakin menguatkan upaya untuk melakukan
reformasi birokrasi pemerintah secara mendasar dan menyeluruh. Setelah kita
memasuki era reformasi upaya melakukan perbaikan birokrasi kita belum bisa
dikatakan mendasar masih bersifat parsialistik. Lembaga birokrasi pemerintah
semenjak pemerintahan Presiden Suharto berakhir, kondisi dan system yang
dipakai belum berubah. Kejadian yang menimpa KPU yang dipimpin Prof. Nazaruddin
Samsuddin walau organisasi ini baru saja dibentuk di jaman reformasi, namun
karena organisasi birokrasi pemerintah secara mendasar dan keseluruhan belum
direformasi, maka seperti organisasi baru seperti KPU ini terkontiminasi
patologi birokrasi orde baru. Kalau KPK mau jujur dan adil bukan hanya di KPU
yang menjadi sasaran utama dan dibombardir, melainkan semua lembaga birokrasi
pemerintah melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh KPU.
Sekarang
masalah pengembalian dana yang dikemplang oleh konglomerat dengan model
korupsi, korupsi dipemerintahan daerah yang hampir melanda bupati-bupati dan
gubernur baru kurang pengetahuan dan pengalaman. Maka KPK jangan berhenti
ditempat yang kecil-kecil melainkan harus membongkar seluruh borok korupsi di
departemen. Barang kali pejabat yang sekarang memimpin KPK pernah juga
merasakan bagaimana lembaga birokrasi pemerintah tempat mereka bekerja dahulu
juga bertindak seperti ditempat yang sekarang dilanda korupsi.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa itu birokrasi pemerintahan?
2. Apa itu
masyarakat sipil madaniah?
3. Bagaimana
perubahan paradigma pembangunan administrasi pemerintahan?
4. Apa lembaga
birokrasi pemerintah?
5. Apa lembaga
hukum?
6. Apa lembaga
bisnis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui
deskripsi birokrasi pemerintahan.
2. Untuk
mengetahui deskripsi masyarakat sipil madaniah.
3. Mengetahui
perubahan paradigma pembangunan administrasi negara.
4. Dapat
menyebutkan lembaga birikrasi pemerintah.
5. Dapat
menyebutkan lembaga hukum.
6. Dapat menyebutkan
lembaga bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan Paradigma
Pembahasan soal pertanyaan
pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang
sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Indonesia era Orde Lama
Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan
pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam dua zaman tersebut,
sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendekiawan pun
ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada pula yang
menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam kehidupan politik.
Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan
diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih,
sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri. Pembatasan
seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan pelanggaran HAM.
Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada pertimbangan
kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang dilayani dan
tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus berperan
ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan masyarakat,
sekaligus bertindak sebagai aktor politik.
Gejala tumpang tindihnya kedua
peran tersebut ( sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus) baik
dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan
menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu
wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan
politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Bagian
penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun paradigma baru birokrasi
adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa birokrasi perlu mengakui bahwa
publik-lah yang berkuasa, karena mereka dibiayai oleh pajak yang dibayarkan
oleh masyarakat. Begitu juga perlu menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari
rekan kerja ketimbang koordinasi dan pegawasan dari atasan. Dalam model
pemerintahan enterpreuneur, pemerintah dan birokrasi bertindak mengarahkan
masyarakat, bukan mengurusi semua bidang kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan
masyarakat bukan cuma melayani masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing
dalam memberikan pelayanan yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja
digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat
sendiri oleh birokrat; menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari
Negara; bekerja dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan
sepihak birokrat; memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya;
mempunyai prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan;
melibatkan kerja dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja
individu atau pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang
maunya organisasi saja.
Selain itu, ada pemikiran yang
terus berkembang misalnya :
1.
Adanya keinginan perlu
tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun
fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa,
sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2.
Birokrasi perlu transparan
dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat ketentuan- ketentuan teknis harus
terbuka dan mengikutsertakan wakil – wakil kelompok kepentingan dalam
masyarakat.
3.
Pejabat birokrasi perlu
“merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
4.
Keinginan kelompok LSM agar
segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh masyarakat, biarkan dikerjakan
oleh masyarakat itu sendiri.
B. Perubahan Paradigma Pembangunan Administrasi
Pemerintah
Perubahan paradigma manajemen
pemerintahan telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat
dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain
oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta
Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
1.
Perubahan paradigma dari orientasi manajemen
pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini manajemen
pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara.
Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk mengatasi
segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa rakyat atau
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini, paradigmanya
berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Segala
aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan
pertimbangan pemerintah.
2.
Perubahan paradigma dari orientasi manajemen
pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian dan
demokrasi.
3.
Perubahan paradigama dari sentralisasi kekuasaan
menjadi desentralisasi kewenangan.
4.
Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan
pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami
perubahan kerah boundryless organization.
5.
Perubahan dari paradigma yang mengikuti tatanan
birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government,
atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical
structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical
structure. Dengan kata lain, suatu tatanan administrasi negara yang
berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan
global, administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran
dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan
tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien,
efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam
berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah
yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk
mengambil bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan
kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah
cukup hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang
dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk
memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi
publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem
administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas
dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus
menciptakan keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan
masyarakat. Hal ini berarti administrasi negara berusaha untuk merubah
kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi
terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki
fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan
pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki
kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan
administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan
dan aspirasi dan pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah
mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik
ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik
administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887
dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua
adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937.
paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik.
Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang
administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat
perkembangan untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara
proposial pada akar keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak
Henry Fayol menulis bukunya yang berjudul Industrial and General Administration
(1949). Paradigma kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan
administrasi publik sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal
ini bahwa administrasi publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
Administrasi publik yang
berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut
Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan
pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG)
yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung
usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses
kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di
negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya
pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas
sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi.
Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi
pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan
birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang
terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik
(good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability dan
konsistensi.
Sementara beberapa teoritir
administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin
terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997)
efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public
goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang
dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan
hal tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu
didukung oleh birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran
administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi
terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan
keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi
publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus
dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita
(1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan
(birokrasi) yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan
bangsa, yaitu : perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser
dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus
membangun partisipasi rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan
ke mengarahkan, dan (4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan
kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu,
Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan
harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi,
kemitraan, dan desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur
pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering
rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan
dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum
mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan
berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan
masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain
melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan
partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai
kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih
memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social
learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif
yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan
semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi mitra
masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat
Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang
antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical
conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang
diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum dan dijadikan
acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam
pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus
bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan
seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi
panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula
semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam
membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan
dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana
bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir
orang. Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan
pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus
diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan
mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani.
Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than serving),
kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat
dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan
keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah
yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas
dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat
berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan,
pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan
orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada
sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu
bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi
dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin
organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan
oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3) strategy, (4) staff, (5) skill,
(6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman
terhadap visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan,
nilai dan budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan
sekaligus menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan
berbagai aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal
maupun dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup
kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman
kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan
yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan
pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur
organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses
pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik
(Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan
strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat,
efisien, terbuka, dan akuntabel.
C. Masyarakat Sipil Madaniah
Wacana masyarakat sipil
merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah Eropa barat
yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan
masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan
wacana civil society dapat dirunut dari mulai Cicerrro sampai Antonio Gramsci,
bahkan menurut Dawam Rahardjo, wacana civil society sudah mengemuka pada masa
Aristoteles. Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero
(106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi komunitas yang lain. Term yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih
menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan
kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang
terorganisasi.
Tahun 1767, wacana masyarakat
madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks
sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat sipil
pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahamannya ini digunakan
untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri
dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan
individu. Dengan konsep ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit
untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat sipil
itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap
saling menyayangi dan mempercayai antar warganegara secara alamiah. Tahun 1792,
muncul wacana masyarakat sipil yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan
yang sebelumnya, konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang
menggunakan istilah masyarakat sipil sebagai kelompok masyarakat yang memiliki
posisi secara diametral dengan negara. Bahkan dianggap olehnya sebagai anti
tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai
sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum.
Transformasi dari masyarakat
feodal menuju masyarakat barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan
istilah civil society. Dalam tradisi Eropa sekitar pertengahan abad XVIII,
pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni
satu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan
tetapi pada ujung abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State
dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan
dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik di
eropa sebagai pencerahan dan moderenisasi dalam menghadapi persoalan duniawi.
Dalam mendefenisikan term masyarakat sipil ini sangat bergantung pada kondisi
sosio-kultural suatu bangsa
Dalam perspektif Islam, memberi
makna civil society sebagai masyarakat madani, Sedangkan kelompok ilmuwan
memaknainya sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, kontroversi
juga muncul diantara kelompok yang mengagungkan civil society sebagai jalan
keluar dari satu sistem politik yang tidak adil. Runtuhnya rezim otoritarian
suharto, menyebabkan wacana tentang civil society seakan-akan kehilangan dasar
pijak untuk dibicarakan kembali, namun jika civil society hanya dipakai sebagai
suatu alat analisa politik maka wacana tersebut menjadi sangat relevan untuk
dibicarakan.
Beragam interpretasi tentang
wacana civil society terus berkembang dimisalkan Adi Suryadi Culla (Masyarakat
Madani; Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformsi,1999)
menjelaskan civil society jika dipadanankan ke dalam bahasa indonesia maka akan
dijumpai kata padananya seperti masyarakat madani masyarakat warga, atau
masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyarakat
berbudaya. dalam bahasa indonesia istilah “society” diartikan dengan
“masyarakat”, civil society ada juga yang mengartikannya dengan masyarakat
berbudaya (civilized society) lawannya adalah ‘masyarakat liar’(savage
society). Mendekati pengertian masyarakat berbudaya, terjemahan lain yang juga
sering digunakan adalah masyarakat madani. Dibanding istilah lainnya istialah
ini yang paling populer dan banyak digandrungi di Indonesia. Madani merujuk
pada kata ‘madinah’ sebuah kota di wilayah Arab, dimana syariat islam dibawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi.
Menurut Nurcholis Madjid, kata ‘madinah’ berasal dari bahasa Arab yakni
“Madaniyah” yang berarti peradaban karena itu masyarakat madani berasosiasi
“masyarakat beradab.
Istialah civil society juga
terkadang diterjemahkan secara gamblang sebagai masyarakat sipil. Apapun itu,
Sunyoto Usman dalam makalah di seminar (Membangun Kemitraan antara Pemerintah
dan Masyarakat Madani untuk Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, 2001),
menegaskan yang harus digaris bawahi adalah civil society merupakan sebuah
konsep yang penting, yaitu terdapatnya keinginan dan tuntutuan untuk membangun
masyarakat yang mampu berkreasi secara maksimal, mampu menyerap nilai-nilai
demokrasi secara konkrit, dan harapan akan terciptanya sistem politik dan pemerintahan
demokratis dari waktu ke waktu. Karena, salah satu ide penting yang melekat
dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan
antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik
(pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor
sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok
profesional).
Relasi civil society dan Good
Governance merupakan suatu hal yang simetris diantara keduanya, karena kedua
konsep diatas terlahir dari konsep Demokrasi, Demokrasi menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan, kebebasan, hak individu maupun kelompok, lebih jauh lagi
demokrasi mengharuskan negara dalam melakukan kegiatannya untuk bersikap
terbuka kepada publik. Hal ini sebagai bentuk tuntutan dalam membangun Good
Governence di sebuah negara demokrasi. Artinya bahwa negara dalam
penyelenggaraan pemerintahannya harus bersikap terbuka sehingga
publik/Masyarakat Sipil dapat secara mudah untuk mengakses informasi terkait
dengan penyelengaraan pemerintahan tersebut.
Realitas demokrasi di
indonesia, perubahan pola kekuasaan sentralistik ke pada pola kekuasaan
disentralisasi demi tercapainya Good Governence di tingkatan daerah yang
dibidani oleh undang-undang no 22 tahun 1999 kemudian diperjelas melalui
undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ternyata belum
dapat menjawab hakikat Good Governance di tingkat lokal ataupun nasional.
Problematika kemudian muncul
di masa disentralisasi yang memiliki kemiripan dengan problematika dimasa
sentralistik. Kekuatan-kekuatan lokal menggantikan posisi kekuatan kekuatan
pusat, walaupun kekuatan lokal telah menghegemoni pemerintahan di tingkat
lokal, ternyata belum dapat menjamin kepuasan masyarakat di tingkat lokal dalam
pemenuhan hak maupun tuntutannya terhadap tercapainya pemerintahan yang bersih,
transparan atau dengan istilah Good Governance. Esensi dari pada undang-undang
otonomi daerah dengan meringkas pemikiran pakar otonomi daerah “M. Ryaas
Rasyid” dalam M. Mas’ud Said (Birokrasi Di Negara Birokratis, 2007) tentang
hakekat pengubahan praktek pemerintahan yang sentralistik ke pemerintahan yang
desentralisasi ialah pemerintahan daerah jauh lebih independen dalam memilih
pemimpin mereka, memajukan kepentingan mereka, mengembangkan institusi mereka,
dalam memobilisasi dukungan-dukungan dari masyarakat-masyarakat mereka sendiri.
Pada tinggatan lokal saat ini
masih dapat dijumpai penyelenggara pemerintah yang bersifat tertutup terhadap
informasi penyelenggaraan pemerintahan. Gejala seperti ini di gambarkan oleh
Dzuriyatun Toyibah, dkk (Merebut Anggaran Publik: Jalan Panjang Demokratisasi
Penganggaran Daerah, 2008) pada model perencanaan pembanguanan sebagaimana
diamanatkan Undang-undang No.25 tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional memungkinkan keterlibatan masyarakat yang semakin besar,
Pengakomodasian partisipasi masyarakat ini diasumsikan agar perencanaan yang
disusun akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sayangnya, proses perencanaan
tersebut masi belum terintegrasi dengan proses penganggaran. Proses perencanaan
yang relatif partisipatif tereduksi oleh potret APBD yang tidak aspiratif.
Indikasi dari ketidaknyambungan antara proses perencanaan dan penganggaran ini
dapat dibuktikan dari hilangnya usulan-usulan prioritas hasil musrenbangdes
saat masuk di musrenbang di tingkat berikutnya.
Potret diatas tentu sangat
bertentangan dengan prinsip demokrasi dalam mewujudkan Good Governence.
Masarakat sipil atau civil society memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan
partisipasi tdalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal maupun
nasional karena masyarakat merupakan bahan bakar dari pergerakan pembangunan
bangsa dan retribusi penyelenggaraan pembangunan juga berasal dari uang rakyat.
Pemerintah sebagai pemilik birokrasi tentulah harus bekerja demi kepentingan
publik dan, hal ini senada bila dikaitkan dalam pandangan “Hegelian
Bureaucracy” yang meyakini bahwa birokrasi sebagai institusi yang menjembatani
civil society dengan negara. Ketidak singkronan antara negara/penyelenggara
pemerintahan dan masyarakat sipil/civil society akan menyebabkan pembangunan
berjalan tidak pada semestinya, baik pada persoalan skala prioritas kebutuhan
maupun pada persoalan kualitas penggunaan anggaran yang baik. untuk mencapai
Good Governance maka dibutuhkan pilar-pilar penyanggah bagi tercapainya tujuan
Good Governance tersebut yakni: pemerintah (the state), civil society
(masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia
usaha. Civil society mau tidak mau harus dapat bertahan dalam upaya mengawal
penyelenggaraan pemerintahan yg baik baik diminta maupun tidak, hal ini penting
karena menyangkut wilayah kehidupan publik. Jika penyelenggara pemerintah tidak
dapat mencerminkan sikap yang akomodatif dan komunikatif maka gagasan yang
disampaikan oleh Mansour Fakih (Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial;
Pergolakan Ideologi LSM, 2004) bahwa perubahan harus direbut, tidak dapat
ditunggu secara pasif.
D. Lembaga Birokrasi Pemerintah
Organisasi pemerintah di bawah Presiden di negara-negara yang mengkuti
sistem demokrasi ada dua macam, yakni departemen yang dipimpin oleh menteri dan
non departemen yang dipimpin bukan menteri. Bedanya kedua macam lembaga itu
antara lain, organisasi departemen dipimpin oleh pejabat politik yang disebut
menteri. Adapun lembaga non departemen dipimpin bukan pejabat politik,
melainkan oleh pejabat yang professional dibidangnya, atau pejabat birokras
karier. Seharusnya lembaga non departemen tidak boleh dipimpin atau dirangkap
oleh menteri. Kedua-duanya mempunyai hubungan vertical langsung kepada
presiden.
Di Indonesia ketika jaman pemerintahan Orde Baru diawal-awal pemerintahan
reformasi keduanya dikaburkan. Organisasi non departemen dirangkap oleh menteri
dan ada pula yang di koordinasikan oleh menteri coordinator, atau menteri
negara. Pelantikan kepala non departemen yang dirangkap menteri dilantik oleh
presiden sedangkan yang tidak di rangkap oleh menteri dilantik oleh menteri
negara atau sesneg.sistem politik saat itu memang yang berkuasa hanya satu
partai yakni Golkar. Dengan demikian tidak ada bedanya jabatan politik dan
jabatan karier non-politik. Semua disamakan dengan dan yang sama itu ialah
pejabat-pejabat Golkar.
Reformasi sekarang ini jamannya dan sistem politiknya telah berubah. Oleh
karena itu mestinya jabatan politik dan non politik, dan lembaga departemen dan
non departemen tidak sama dengan jamannya pemerintahan Orde Baru dahulu.
Departemen pemerintahan merupakan suatu lembaga yang dipimpin melalui jalur
politik yang berasal dari partai politik. Sebab partai politik merupakan
pengejawantahan dari demokrasi yang berintikan kekuasaan pada rakyat. Hanya
pada departemen inilah partai politik mempunyai jalur untuk mewujudkan
kebijakan politiknya dalam memimpin pemerintahan. Akan tetapi kesempatan itu
hanya dibatasi pada pimpinan departemen bukan seluruh aparat departemen
tersebut seperti dikatakan di muka tidak hanya didominasi oleh birokrat
professional saja, tanpa memberikan tempat bagi pejabat politik. Dengan
demikian suatu departemen pemerintah komposisinya harus terdiri dari jabatan
teknikal yang berbasis pada kompetensi professional dari para birokrat untuk
melangsungkan kontinuitas administrasi negara, dan jabatan politik yang
memimpin jabatan birokrasi tersebut.
E. Lembaga Hukum
Hukum Lembaga~Dalam berbagai definisi yang dikeluarkan atau yang
diungkapkan oleh para ahli memiliki dampak yang kompleks, salah satu dampak
tersebut ialah sulitnya pendefinisian yang dilakukan serta sulitnya suatu
definisi tersebut dapat diterima oleh kalangan umum.
Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum menurut para ahli
hukum terkemuka berikut ini :
1.
Prof. Mr. E.M. Meyers
Hukum memuat segala aturan yang
mengandung pertimbangan tentang kesusilaan yang secara umum ditunjukan kepada
tingkah laku manusia dalam masyarakat, serta menjadi suatu pedoman tersendiri
oleh pemegang kekuasaan.
2.
Leon Duguit
Hukum adalah aturan tingkah laku
anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan
yang pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap
pelakunya.
3.
Drs. E. Utrecht, S.H
Hukum adalah segala peraturan yang
berisikan tentang perintah dan larangan yang bertujuan menciptakan tata tertib
di masyaakat oleh sebab itu hukum harus ditaati.
4.
S.M. Amin, S.H
Hukum merupakan kumpulan peraturan
yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam
pergaulan manusia.
5.
J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto,
S.H
Hukum adalah sebuah
peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa, yang menentukan bagaimana tingkah
laku manusi yang hidup didalam masyarakat dan peraturan tersebut resmi dibuat
oleh suatu badan resmi, dan jika terjadi suatu pelanggaran akan dikenakan
sanksi tertentu.
Lembaga hukum yang dapat disebut
dengan lembaga peradilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Peran hukum sendiri tak lain ialah
mengatur segala sesuatu yang yang berhubungan dengan hukum yang berlaku.
Fungsi
Lembaga Hukum
Ada beberapa fungsi lembaga hukum
yaitu : Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat : dalam
arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk,
sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.Sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat
dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam
arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa
agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
Sebagai sarana penggerak
pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau
didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat
untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
Sebagai penentuan alokasi wewenang
secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa
yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil : seperti
konsep hukum konstitusi negara.Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti
contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum
waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
Memelihara kemampuan masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan
cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat.
Contoh
Contoh Lembaga Hukum di Indonesia
1.
Komnas HAM
Lembaga ini berdiri di Indonesia dan
memiliki posisi yang setaraf dengan lembaga negara lainnya. Lembaga ini
membantu warga Negara Indonesia mendapatkan hak asasi mereka sesuai dengan asas
Pancasila, UUD 1945 dan hak secara dunia melalui Piagam PBB dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Komisi juga menjadi jembatan antara hukum
Indonesia dengan warga Negara Indonesia yang memperjuangkan hak nya sebagai
manusia. Misalnya hak pekerjaan, hak pendidikan, hak penghidupan yang layak dan
hak-hak lain yang diatur lengkap dalam UUD 1945.
2.
Komnas Perlindungan Anak
Komnas Ham (Komisi Nasional
Perlindungan Anak) didirikan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1988). Komnas
Perlindungan Anak sama kedudukannya dengan Komnas HAm namun lebih memfokuskan
pada masalah-masalah hukum yang menyangkut anak-anak. Fungsi Komisi untuk juga
untuk memantau, mengawasi kebijakan negara yang dapat memberatkan anak dalam
haknya sebagai warga Negara Indonensia. Komisi ini juga berfungsi sebagai
mediator dalam kasus-kasus hukum yang menimpa anak-anak baik sebagai korban
atau pelanggar hukum.
3.
Komnas Perlindungan Perempuan
Perempuan di Indonesia sangat
dilindungi. Itulah fungsi Komnas perlindungan perempuan yang melindungi
perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan misalnya pelecehan seksual, kasus
kekerasan perempuan dalam rumah tangga (KDRT) , kasus hak hidup sebagai
perempuan misalnya fasilitas-fasilitas umum untuk perempuan dan sebagainya.
Komisi ini sebagai mediator atau negosiator antara pemerintah dengan warga
Negara perempuan dalam memperjuangkan hak warga negara mereka.
4.
YLBHI
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia) merupakan lembaga di Indonesia yang menyediakan payung bantuan hukum
bagi mereka yang terkena kasus hukum. Lembaga ini mengedepankan asas penegakan
hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan. Lembaga tersebut juga memperjuangkan
upaya penegakan negara hukum yang dapat menjamin keadilan sosial bagi
masyarakat Indonesia. Dalam membantu kasus-kasus hukum, klien juga ikut
terlibat sehingga dapat menyelesaikan masalah hukum mereka secara mandiri
tanpa bantuan pengacara. Kantor YLBHI tersebut di seluruh ibu kota setiap
provinsi di Indonesia. Sehingga Anda bisa dengan mudah meminta bantuan YLBHI
untuk menangani masalah hukum Anda.
5.
LBH
Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan
lembaga yang tersebar di seluruh kota di Indonesia, posisinya hampir sama dengan
YLBHI dan merupakan payung bantuan hukum untuk warga Negara Indonesia. LBH
lebih memfokuskan bantuan mereka ke warga yang tidak mampu secara ekonomi, yang
mengalami penggusuran lahan, kasus pekerja yang di PHK, serta pelanggaran Hak
asasi manusia lainnya secara umum. LBH memiliki tujuan untuk mewujudkan tatanan
hukum yang adil bagi setiap Negara berdasarkan asas hukum yaitu Pancasila dan
UUD 1945.
F. Lembaga Bisnis
Dalam kegiatan
perdagangan/perniagaan/bisnis banyak sekali lembaga yang berkaitan atau berhubungan,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lembaga-lembaga tersebut ada yang dibentuk oleh pihak pemerintah da nada pula yang dibentuk oleh pihak swasta. Kesemuanya ditujukan untuk mendorong atau memajukan kegiatan perdagangan, untuk dapat mencapai tingkat perkembangan ekonomi negara yang baik , sehingga kemakmuran masyarakat dapat dicapai seseuai dengan yang diharpakan.
Lembaga-lembaga tersebut ada yang dibentuk oleh pihak pemerintah da nada pula yang dibentuk oleh pihak swasta. Kesemuanya ditujukan untuk mendorong atau memajukan kegiatan perdagangan, untuk dapat mencapai tingkat perkembangan ekonomi negara yang baik , sehingga kemakmuran masyarakat dapat dicapai seseuai dengan yang diharpakan.
Apabila kita tinjau dari kepentingan
kegiatan perdagangan, maka lembaga-lembaga itu ada yang didirikan atau dibentuk
untuk :
1. Mengurus kepentingan-kepentingan
perdagangan.
Lembaga yang dibentuk untuk mengurus
kepentingan-kepentingan perdagangan, misalnya dalam hal :
a. Pengurus
perijinan;
b. Penentuan
harga eceran tertinggi;
c. Penentuan
standar kualitas barang;
d. Pengurusan
kepentingan perusahaan dalam perolehan hak cipta, paten dan sebagainya.
Misalkan :
1) Departemen
Perindustrian dan Perdagangan
2) Departemen
Kehakiman
3) Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) dan sebagainya.
2. Melayani keperluan informasi atau
data-data yang diperlukan dalam perdagangan.
Untuk kepentingan kegiatan usaha
yang sedang dijalankan, seringkali perusahaan/badan usaha memerlukan informasi
atau data-data perdagangan/bisnis yang benar (akurat), baik dari
instansi/lembaga pemerintahan maupun dari lembaga-lembaga lain yang kegiatannya
berkaitan erat dengan penyajian data bisnis.
Misalkan :
Misalkan :
a.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan
b.
Departemen Keuangan
c.
Departemen Penerangan
d.
Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
e.
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI)
f.
Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS)
g.
Lembaga Konsumen
h.
Lembaga Konsultan Pemasaran, dan sebagainya.
3. Mengorganisasi/mengkordinasi
perusahaanmaupun pengusahanya.
Untuk kepentingan kemajuan
Perusahaan Nasional, maka seringkali dibentuk lembaga-lembaga (organisasi) yang
bersifatnya umum maupun khusus. Yang sifatnya umum dan dapat diikuti oleh para
pengusaha dan gabungan usaha nasional, yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN),
sedangkan yang bersifat khusus, yaitu :
a. Organisasi Perusahaan Sejenis,
seperti
1.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (P.H.R.I)
2.
Organisasi Gabungan Pengusaha Kendaraan (ORGANDA)
3.
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
4.
Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI)
5.
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia
(GAPENSI), dan sebagainya.
b. Organisasi Pengusaha, seperti
b. Organisasi Pengusaha, seperti
1.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
2.
Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI)
4. Mengawasi kegiatan perusahaan
Pengawasan terhadap kegiatan bukan
ditujukan untuk mempersempit ruang gerak perusahaan, tetapi untuk mendorong
agar perusahaan bergerak dalam kegiatan usaha yang sesuai dan tidak mengganggu
ketertiban umum maupun stabilitas nasional. Pengawasan ini biasnya dilakukan
oleh instansi/lembaga pemerintahan.
5. Memberikan bimbingan kepada
perusahaan.
Kepada perusahaan/badan usaha serta
pengusahanya seringkali perlu diberikan bimbingan-bimbingan tertentu terutama
dalam hal :
·
teknik;
·
administrasi/manajemen;
·
keuangan;
·
pemasaran;
·
ketenagakerjaan dan sebagainya
6. Memperhatikan dan membela hak-hak
konsumen, dan sebagainya
Konsumen adalah pengguna barang-barang
hasil produksi.Dibutuhkannya diberikan penjelasan dan bimbingan dalam pemilihan
barang secara efektif dan efisien, sehingga tidak mudah tertipu oleh prosusen
atau pedagangyang tidak bertanggungjawab.
Apabila diperhatikan dan dicatat
satu persatu, ternya banyak sekali lembaga yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan perniagaan/perdagangan, yang keseluruahan ditujukan
untuk membanguntingkat perekonomian yang baik sebagaimana harapan dari seluruh
pihak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Birokrasi
adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip
ideal bekerjanya suatu organinisasi. Pada umumnya birokrasi ini bersifat rigid
dan kaku. Namun, birokrasi memiliki fungsi dan peran yang amat penting didalam
masyarakat salah satunya adalah melaksanakan pelayanan public. Pelaksanaan
birokrasi dalam hal pelayanan public disetiap Negara tentunya berbeda, begitu
juga diantara Negara berkembang dengan Negara maju. Di Negara berkembang yaitu
Indonesia, pelayanan public yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
sepertinya belum bisa dikatakan baik atau maksimal karena tidak sesui lapisan
masyarakat yang belum menikmati pelayanan yang ada birokrasinya sangat
berbelit-belit.
Dilihat dari pelayanan transportasi public, Indonesia
bias dikatakan kurang memadain, seperti yang kita ketahui dalam penyediaan
transportasi umum masih banyak angkutan umum seperti bus atau angkutan
perkotaan yang sebenarnya sudah tidak layak untuk digunakan namau tetap
digunakan karena alas an kekurangan biaya, maka yang terjadi adalah banyak
angkutan umum yang memaksakan muatan untuk mengangkut penumpang sementara
keselamatan keselamatan mereka cenderung diabaikan. Contoh lain dari buruknya
pelayanan transportasi adalah pelayanan kereta api, meskipun sekarang sudah
tidak seluruhnya milik pemerintah tetap saja pelayanan kereta api kelas ekonomi
masih kurang memadai karena banyak masyarakat yang naik keatap kereta api agar tetap bisa menggunakan kereta api
sebagai transportasi umum. Padahal sudah jelas, hal itu sangat membahayakan
keselamatan para penumpang. Mereka nekat melakukan ini karena harga karcis
ekonomi sangat murah dibandingkan dengan kereta jenis lain dan angkutan umum
lain seperti bus.
B. Saran
Kami
sangat mengharapkan saran, kritik, masukan dari rekan-rekan, Dosen maupun yang
membaca isi makalah ini, yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini
terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Adji,Oemar Seno, 1991, Etika Profesional dan
Hukum Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga
Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila,
Yogyakarta: Paradigma
Maulan,Achmad, dkk, 2008, Kamus Ilmiah Populer,
Yogyakarta: Absolut
Notodisoerejo,Soegondo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia,Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Rahardjo,Satjipto, 2000, Ilmu Hukum,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Saleh, K.Wantjik, 1976, Kehakiman dan Peradilan,
Jakarta: Simbur Cahaya
Suprapto,Hartono Hadi, 1993, Pengantar Tata
Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Supriadi, 2006, Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika
Sutiyoso,Bambang dan Puspitasari, sri Hastuti,
2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press
T. Kansil,C.S., 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Tobing,Lumban, 1996, Peraturan Jabatan Notaris,
Jakarta: Erlangga
Tutik,Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta: Prestasi Pustakarya
Wikpedia Indonesia (Ensiklopedia Bebas)
Winarta, Frans Hendra, 14 Juni 2006, Dimensi
Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum. www.komisihukum.go.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar