Entri yang Diunggulkan

kunci gitar dan lirik lagu bukti dari virgoun

  oke lek ini dia kunci gitar dari lagunya virgon yang mudah buat pemula silahkan dicoba lek tks....................... Intro:  A  E ...

Senin, 26 Februari 2018

Aspek Kelembagaan dalam Birokrasi Pemerintah Sipil

Aspek Kelembagaan dalam Birokrasi Pemerintah Sipil



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
Perkembangan kehidupan masyarakat semakin hari semakin bertambah. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia sebagai salah satu anggota dan komponen yang amat berpengaruh dalam suatu gugusan masyarakat tertentu. Kebutuhan yang bertambah itu akan membawa persoalan pemenuhannya. Kalau sumber-sumber itu tersedia tidak banyak menimbulkan masalah akan tetapi jika sumber itu mulai langka mulai timbul masalah bagi manusia dan masyarakat. Jika persoalan itu manusia mengakumulasi menumpuk terus menerus dan menjadi persoalan masyarakat dan kemudian jika mengkristal menjadi persoalan Negara atau pemerintah mulailah manusia menyadari ketertiban birokrasi dan administrasi Negara.
            Etziomi Amitai (1964) pernah berujur manusia hidup ini selalu membutuhkan organisasi atau birokrasi pemerintah. Begitu manusia lahir dia membubuhkan catatan keorganisasi pemerintah tentang akte kelahiran, masuk sekolah mendaftar keorganisasi pemerintah dibidang pendidikan, mau nikah butuh pekerjaan urusan agama, meninggal dunia pun masih membutuhkan upaya kantor pemerintah. Betapa hebat dan menyeluruhnya urusan organisasi pemerintah itu mengintervensi kehidupan dan kematian seseorang.
            Gerald Caiden (1982) pernah juga menyatakan bahwa pekerjaan organisasi pemerintah itu tidak bisa dihindari oleh manusia ini. Ciri khas kegiatan organisasi atau birokrasi pemerintah itu menelusuf melalui relung-relung kehidupan manusia. Ciri ini yang membedakan antara organisasi birokrasi pemerintah dengan organisasi non pemerintah termasuk organisasi perusahaan. Hanya saja ciri yang khas ini sekaligus menunjukan sifat monopoli yang menjadikan mau tidak mau orang harus puas dengan pelayanan birokrasi pemerintah. Tidak peduli apakah pelayanan cepat atau lambat, memuaskan atau menjengkelkan, menghargai manusia atau tidak peduli kepada manusia yang dilayani. Perilaku system birokrasi itu memang sangat memperdulikan sifat-sifat impersonal.
            Max Weber (1947) system birokrasi itu tidak mengenal perilaku personal, sangat formal dan sesuai dengan orde-prosedural. Perilaku birokrasi Webrian itu selalu berorientasi etatisme legalistic. Karena pendekatan birokrasi yang dianut oleh banyak pemerintah itu orde-prosedural yang didasarkan pada aturan atau peraturan menjadi sifat yang tidak bisa ditinggalkan.
            Orde-prosedural merupakan yang mengatur masyarakat ini untuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan dan perilaku kerja para birokrat dalam hubungan dengan masyarakat. Di sini masnusia yang ada didalam masyarakat kota maupun desa tidak bisa mengajukan alternative yang memihak kepadanya. Sehingga tatanan orde ini yang bersifat mengatur dan menentukan struktur social yang tidak imbang, atau tidak sinergik dengan keinginan dan aspirasi masyarakat yang diatur.
            Lembaga dan system birokrasi pemerintah orde baru ini terkenal dengan system yang mempunyai monopoli kekuasaan yang besar diperkuat dengan mempunyai deskresi atau kebebasan untuk memutus yang luar biasa. Akan tetapi tidak diikuti oleh adanya rasa akontabilitas public dan diperkuat dengan tidak adanya sarana control yang dilaksanakan masyarakat.
            Birokrasi seperti ini menurut Kliitgaart (1988) jelas akan menyuburkan korupsi. Selain itu selama pemerintah orde baru birokrasi kita sangat besar dan mudah memperoleh dana anggaran. Ketika itu setiap tahunnya, anggaran belanja Negara untuk masing-masing departemen naik paling sedikit 10% dari dana tahun yang lalu. Jadi dapat disimpulkan bahwa para birokratnya “keceh duwit”. Lembaga birokrasi  semacam itu perlu diperbaharui, jika kita ingin mengurangi atau memberantas korupsi.
            Kasus yang menimpa Komisi Pemilihan Umum (KPU), suap di Komisi Yudisial dan Kejasaan Agung semakin menguatkan upaya untuk melakukan reformasi birokrasi pemerintah secara mendasar dan menyeluruh. Setelah kita memasuki era reformasi upaya melakukan perbaikan birokrasi kita belum bisa dikatakan mendasar masih bersifat parsialistik. Lembaga birokrasi pemerintah semenjak pemerintahan Presiden Suharto berakhir, kondisi dan system yang dipakai belum berubah. Kejadian yang menimpa KPU yang dipimpin Prof. Nazaruddin Samsuddin walau organisasi ini baru saja dibentuk di jaman reformasi, namun karena organisasi birokrasi pemerintah secara mendasar dan keseluruhan belum direformasi, maka seperti organisasi baru seperti KPU ini terkontiminasi patologi birokrasi orde baru. Kalau KPK mau jujur dan adil bukan hanya di KPU yang menjadi sasaran utama dan dibombardir, melainkan semua lembaga birokrasi pemerintah melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh KPU.
Sekarang masalah pengembalian dana yang dikemplang oleh konglomerat dengan model korupsi, korupsi dipemerintahan daerah yang hampir melanda bupati-bupati dan gubernur baru kurang pengetahuan dan pengalaman. Maka KPK jangan berhenti ditempat yang kecil-kecil melainkan harus membongkar seluruh borok korupsi di departemen. Barang kali pejabat yang sekarang memimpin KPK pernah juga merasakan bagaimana lembaga birokrasi pemerintah tempat mereka bekerja dahulu juga bertindak seperti ditempat yang sekarang dilanda korupsi.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa itu  birokrasi pemerintahan?
2.      Apa itu masyarakat sipil madaniah?
3.      Bagaimana perubahan paradigma pembangunan administrasi pemerintahan?
4.      Apa lembaga birokrasi pemerintah?
5.      Apa lembaga hukum?
6.      Apa lembaga bisnis?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui deskripsi birokrasi pemerintahan.
2.      Untuk mengetahui deskripsi masyarakat sipil madaniah.
3.      Mengetahui perubahan paradigma pembangunan administrasi negara.
4.      Dapat menyebutkan lembaga birikrasi pemerintah.
5.      Dapat menyebutkan lembaga hukum.
6.      Dapat menyebutkan lembaga bisnis.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Perubahan Paradigma
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri. Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.
Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut ( sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat; menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat; memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya organisasi saja.
Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya :
1.         Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2.         Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil – wakil kelompok kepentingan dalam masyarakat.
3.         Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung jawabnya.
4.         Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

B.       Perubahan Paradigma Pembangunan Administrasi Pemerintah
Perubahan paradigma manajemen pemerintahan telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
1.      Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini, paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
2.      Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian dan demokrasi.
3.      Perubahan paradigama dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
4.      Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan kerah boundryless organization.
5.      Perubahan dari paradigma yang mengikuti tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain, suatu tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan global, administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien, efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah cukup hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus menciptakan keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti administrasi negara berusaha untuk merubah kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan dan aspirasi dan pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887 dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937. paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik. Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat perkembangan untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara proposial pada akar keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak Henry Fayol menulis bukunya yang berjudul Industrial and General Administration (1949). Paradigma kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan administrasi publik sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal ini bahwa administrasi publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Administrasi publik yang berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG) yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi. Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik (good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability dan konsistensi.
Sementara beberapa teoritir administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997) efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu didukung oleh birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu : perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus membangun partisipasi rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan (4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu, Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir orang. Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3) strategy, (4) staff, (5) skill, (6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan, nilai dan budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan sekaligus menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan berbagai aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal maupun dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik (Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat, efisien, terbuka, dan akuntabel.

C.      Masyarakat Sipil Madaniah
Wacana masyarakat sipil merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah Eropa barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana civil society dapat dirunut dari mulai Cicerrro sampai Antonio Gramsci, bahkan menurut Dawam Rahardjo, wacana civil society sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Term yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi.
Tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat sipil pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsep ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat sipil itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi dan mempercayai antar warganegara secara alamiah. Tahun 1792, muncul wacana masyarakat sipil yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan yang sebelumnya, konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyarakat sipil sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara. Bahkan dianggap olehnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum.
Transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society. Dalam tradisi Eropa sekitar pertengahan abad XVIII, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni satu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada ujung abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik di eropa sebagai pencerahan dan moderenisasi dalam menghadapi persoalan duniawi. Dalam mendefenisikan term masyarakat sipil ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa
Dalam perspektif Islam, memberi makna civil society sebagai masyarakat madani, Sedangkan kelompok ilmuwan memaknainya sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, kontroversi juga muncul diantara kelompok yang mengagungkan civil society sebagai jalan keluar dari satu sistem politik yang tidak adil. Runtuhnya rezim otoritarian suharto, menyebabkan wacana tentang civil society seakan-akan kehilangan dasar pijak untuk dibicarakan kembali, namun jika civil society hanya dipakai sebagai suatu alat analisa politik maka wacana tersebut menjadi sangat relevan untuk dibicarakan.
Beragam interpretasi tentang wacana civil society terus berkembang dimisalkan Adi Suryadi Culla (Masyarakat Madani; Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformsi,1999) menjelaskan civil society jika dipadanankan ke dalam bahasa indonesia maka akan dijumpai kata padananya seperti masyarakat madani masyarakat warga, atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya. dalam bahasa indonesia istilah “society” diartikan dengan “masyarakat”, civil society ada juga yang mengartikannya dengan masyarakat berbudaya (civilized society) lawannya adalah ‘masyarakat liar’(savage society). Mendekati pengertian masyarakat berbudaya, terjemahan lain yang juga sering digunakan adalah masyarakat madani. Dibanding istilah lainnya istialah ini yang paling populer dan banyak digandrungi di Indonesia. Madani merujuk pada kata ‘madinah’ sebuah kota di wilayah Arab, dimana syariat islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi. Menurut Nurcholis Madjid, kata ‘madinah’ berasal dari bahasa Arab yakni “Madaniyah” yang berarti peradaban karena itu masyarakat madani berasosiasi “masyarakat beradab.
Istialah civil society juga terkadang diterjemahkan secara gamblang sebagai masyarakat sipil. Apapun itu, Sunyoto Usman dalam makalah di seminar (Membangun Kemitraan antara Pemerintah dan Masyarakat Madani untuk Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, 2001), menegaskan yang harus digaris bawahi adalah civil society merupakan sebuah konsep yang penting, yaitu terdapatnya keinginan dan tuntutuan untuk membangun masyarakat yang mampu berkreasi secara maksimal, mampu menyerap nilai-nilai demokrasi secara konkrit, dan harapan akan terciptanya sistem politik dan pemerintahan demokratis dari waktu ke waktu. Karena, salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).
Relasi civil society dan Good Governance merupakan suatu hal yang simetris diantara keduanya, karena kedua konsep diatas terlahir dari konsep Demokrasi, Demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebebasan, hak individu maupun kelompok, lebih jauh lagi demokrasi mengharuskan negara dalam melakukan kegiatannya untuk bersikap terbuka kepada publik. Hal ini sebagai bentuk tuntutan dalam membangun Good Governence di sebuah negara demokrasi. Artinya bahwa negara dalam penyelenggaraan pemerintahannya harus bersikap terbuka sehingga publik/Masyarakat Sipil dapat secara mudah untuk mengakses informasi terkait dengan penyelengaraan pemerintahan tersebut.
Realitas demokrasi di indonesia, perubahan pola kekuasaan sentralistik ke pada pola kekuasaan disentralisasi demi tercapainya Good Governence di tingkatan daerah yang dibidani oleh undang-undang no 22 tahun 1999 kemudian diperjelas melalui undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ternyata belum dapat menjawab hakikat Good Governance di tingkat lokal ataupun nasional.
Problematika kemudian muncul di masa disentralisasi yang memiliki kemiripan dengan problematika dimasa sentralistik. Kekuatan-kekuatan lokal menggantikan posisi kekuatan kekuatan pusat, walaupun kekuatan lokal telah menghegemoni pemerintahan di tingkat lokal, ternyata belum dapat menjamin kepuasan masyarakat di tingkat lokal dalam pemenuhan hak maupun tuntutannya terhadap tercapainya pemerintahan yang bersih, transparan atau dengan istilah Good Governance. Esensi dari pada undang-undang otonomi daerah dengan meringkas pemikiran pakar otonomi daerah “M. Ryaas Rasyid” dalam M. Mas’ud Said (Birokrasi Di Negara Birokratis, 2007) tentang hakekat pengubahan praktek pemerintahan yang sentralistik ke pemerintahan yang desentralisasi ialah pemerintahan daerah jauh lebih independen dalam memilih pemimpin mereka, memajukan kepentingan mereka, mengembangkan institusi mereka, dalam memobilisasi dukungan-dukungan dari masyarakat-masyarakat mereka sendiri.
Pada tinggatan lokal saat ini masih dapat dijumpai penyelenggara pemerintah yang bersifat tertutup terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan. Gejala seperti ini di gambarkan oleh Dzuriyatun Toyibah, dkk (Merebut Anggaran Publik: Jalan Panjang Demokratisasi Penganggaran Daerah, 2008) pada model perencanaan pembanguanan sebagaimana diamanatkan Undang-undang No.25 tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional memungkinkan keterlibatan masyarakat yang semakin besar, Pengakomodasian partisipasi masyarakat ini diasumsikan agar perencanaan yang disusun akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sayangnya, proses perencanaan tersebut masi belum terintegrasi dengan proses penganggaran. Proses perencanaan yang relatif partisipatif tereduksi oleh potret APBD yang tidak aspiratif. Indikasi dari ketidaknyambungan antara proses perencanaan dan penganggaran ini dapat dibuktikan dari hilangnya usulan-usulan prioritas hasil musrenbangdes saat masuk di musrenbang di tingkat berikutnya.
Potret diatas tentu sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dalam mewujudkan Good Governence. Masarakat sipil atau civil society memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan partisipasi tdalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal maupun nasional karena masyarakat merupakan bahan bakar dari pergerakan pembangunan bangsa dan retribusi penyelenggaraan pembangunan juga berasal dari uang rakyat. Pemerintah sebagai pemilik birokrasi tentulah harus bekerja demi kepentingan publik dan, hal ini senada bila dikaitkan dalam pandangan “Hegelian Bureaucracy” yang meyakini bahwa birokrasi sebagai institusi yang menjembatani civil society dengan negara. Ketidak singkronan antara negara/penyelenggara pemerintahan dan masyarakat sipil/civil society akan menyebabkan pembangunan berjalan tidak pada semestinya, baik pada persoalan skala prioritas kebutuhan maupun pada persoalan kualitas penggunaan anggaran yang baik. untuk mencapai Good Governance maka dibutuhkan pilar-pilar penyanggah bagi tercapainya tujuan Good Governance tersebut yakni: pemerintah (the state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha. Civil society mau tidak mau harus dapat bertahan dalam upaya mengawal penyelenggaraan pemerintahan yg baik baik diminta maupun tidak, hal ini penting karena menyangkut wilayah kehidupan publik. Jika penyelenggara pemerintah tidak dapat mencerminkan sikap yang akomodatif dan komunikatif maka gagasan yang disampaikan oleh Mansour Fakih (Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial; Pergolakan Ideologi LSM, 2004) bahwa perubahan harus direbut, tidak dapat ditunggu secara pasif.

D.      Lembaga Birokrasi Pemerintah
Organisasi pemerintah di bawah Presiden di negara-negara yang mengkuti sistem demokrasi ada dua macam, yakni departemen yang dipimpin oleh menteri dan non departemen yang dipimpin bukan menteri. Bedanya kedua macam lembaga itu antara lain, organisasi departemen dipimpin oleh pejabat politik yang disebut menteri. Adapun lembaga non departemen dipimpin bukan pejabat politik, melainkan oleh pejabat yang professional dibidangnya, atau pejabat birokras karier. Seharusnya lembaga non departemen tidak boleh dipimpin atau dirangkap oleh menteri. Kedua-duanya mempunyai hubungan vertical langsung kepada presiden.
Di Indonesia ketika jaman pemerintahan Orde Baru diawal-awal pemerintahan reformasi keduanya dikaburkan. Organisasi non departemen dirangkap oleh menteri dan ada pula yang di koordinasikan oleh menteri coordinator, atau menteri negara. Pelantikan kepala non departemen yang dirangkap menteri dilantik oleh presiden sedangkan yang tidak di rangkap oleh menteri dilantik oleh menteri negara atau sesneg.sistem politik saat itu memang yang berkuasa hanya satu partai yakni Golkar. Dengan demikian tidak ada bedanya jabatan politik dan jabatan karier non-politik. Semua disamakan dengan dan yang sama itu ialah pejabat-pejabat Golkar.
Reformasi sekarang ini jamannya dan sistem politiknya telah berubah. Oleh karena itu mestinya jabatan politik dan non politik, dan lembaga departemen dan non departemen tidak sama dengan jamannya pemerintahan Orde Baru dahulu.
Departemen pemerintahan merupakan suatu lembaga yang dipimpin melalui jalur politik yang berasal dari partai politik. Sebab partai politik merupakan pengejawantahan dari demokrasi yang berintikan kekuasaan pada rakyat. Hanya pada departemen inilah partai politik mempunyai jalur untuk mewujudkan kebijakan politiknya dalam memimpin pemerintahan. Akan tetapi kesempatan itu hanya dibatasi pada pimpinan departemen bukan seluruh aparat departemen tersebut seperti dikatakan di muka tidak hanya didominasi oleh birokrat professional saja, tanpa memberikan tempat bagi pejabat politik. Dengan demikian suatu departemen pemerintah komposisinya harus terdiri dari jabatan teknikal yang berbasis pada kompetensi professional dari para birokrat untuk melangsungkan kontinuitas administrasi negara, dan jabatan politik yang memimpin jabatan birokrasi tersebut.

E.       Lembaga Hukum
Hukum Lembaga~Dalam berbagai definisi yang dikeluarkan atau yang diungkapkan oleh para ahli memiliki dampak yang kompleks, salah satu dampak tersebut ialah sulitnya pendefinisian yang dilakukan serta sulitnya suatu definisi tersebut dapat diterima oleh kalangan umum.
Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum menurut para ahli hukum terkemuka berikut ini :
1.        Prof. Mr. E.M. Meyers
Hukum memuat segala aturan yang mengandung pertimbangan tentang kesusilaan yang secara umum ditunjukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, serta menjadi suatu pedoman tersendiri oleh pemegang kekuasaan.
2.        Leon Duguit
Hukum adalah aturan tingkah laku anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap pelakunya.


3.        Drs. E. Utrecht, S.H
Hukum adalah segala peraturan yang berisikan tentang perintah dan larangan yang bertujuan menciptakan tata tertib di  masyaakat oleh sebab itu hukum harus ditaati.
4.        S.M. Amin, S.H
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan ketertiban dalam pergaulan manusia.
5.        J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H
Hukum adalah sebuah peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa, yang menentukan bagaimana tingkah laku manusi yang hidup didalam masyarakat dan peraturan tersebut resmi dibuat oleh suatu badan resmi, dan jika terjadi suatu pelanggaran akan dikenakan sanksi tertentu.
Lembaga hukum yang dapat disebut dengan lembaga peradilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Peran hukum sendiri tak lain ialah mengatur segala sesuatu yang yang berhubungan dengan hukum yang berlaku.
Fungsi Lembaga Hukum
Ada beberapa fungsi lembaga hukum yaitu  : Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat : dalam arti, hukum berfungsi menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukum memiliki sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. 
Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil : seperti konsep hukum konstitusi negara.Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata. 
Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Contoh Contoh Lembaga Hukum di Indonesia
1.        Komnas HAM
Lembaga ini berdiri di Indonesia dan memiliki posisi yang setaraf dengan lembaga negara lainnya. Lembaga ini membantu warga Negara Indonesia mendapatkan hak asasi mereka sesuai dengan asas Pancasila, UUD 1945 dan hak secara dunia melalui Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Komisi juga menjadi jembatan antara hukum Indonesia dengan warga Negara Indonesia yang memperjuangkan hak nya sebagai manusia. Misalnya hak pekerjaan, hak pendidikan, hak penghidupan yang layak dan hak-hak lain yang diatur lengkap dalam UUD 1945.
2.        Komnas Perlindungan Anak
Komnas Ham (Komisi Nasional Perlindungan Anak) didirikan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1988). Komnas Perlindungan Anak sama kedudukannya dengan Komnas HAm namun lebih memfokuskan pada masalah-masalah hukum yang menyangkut anak-anak. Fungsi Komisi untuk juga untuk memantau, mengawasi kebijakan negara yang dapat memberatkan anak dalam haknya sebagai warga Negara Indonensia. Komisi ini juga berfungsi sebagai mediator dalam kasus-kasus hukum yang menimpa anak-anak baik sebagai korban atau pelanggar hukum.
3.        Komnas Perlindungan Perempuan
Perempuan di Indonesia sangat dilindungi. Itulah  fungsi Komnas perlindungan perempuan yang melindungi perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan misalnya pelecehan seksual, kasus kekerasan perempuan dalam rumah tangga (KDRT) , kasus hak hidup sebagai perempuan misalnya fasilitas-fasilitas umum untuk perempuan dan sebagainya. Komisi ini sebagai mediator atau negosiator antara pemerintah dengan warga Negara perempuan dalam memperjuangkan hak warga negara mereka.
4.        YLBHI
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) merupakan lembaga di Indonesia yang menyediakan payung bantuan hukum bagi mereka yang terkena kasus hukum. Lembaga ini mengedepankan asas penegakan hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan. Lembaga tersebut juga memperjuangkan upaya penegakan negara hukum yang dapat menjamin keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Dalam membantu kasus-kasus hukum, klien juga ikut terlibat sehingga  dapat menyelesaikan masalah hukum mereka secara mandiri tanpa bantuan pengacara. Kantor YLBHI tersebut di seluruh ibu kota setiap provinsi di Indonesia. Sehingga Anda bisa dengan mudah meminta bantuan YLBHI untuk menangani masalah hukum Anda.
5.        LBH
Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan lembaga yang tersebar di seluruh kota di Indonesia, posisinya hampir sama dengan YLBHI dan merupakan payung bantuan hukum untuk warga Negara Indonesia. LBH lebih memfokuskan bantuan mereka ke warga yang tidak mampu secara ekonomi, yang mengalami penggusuran lahan, kasus pekerja yang di PHK, serta pelanggaran Hak asasi manusia lainnya secara umum. LBH memiliki tujuan untuk mewujudkan tatanan hukum yang adil bagi setiap Negara berdasarkan asas hukum yaitu Pancasila dan UUD 1945.

F.       Lembaga Bisnis
Dalam kegiatan perdagangan/perniagaan/bisnis banyak sekali lembaga yang berkaitan atau berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lembaga-lembaga tersebut ada yang dibentuk oleh pihak pemerintah da nada pula yang dibentuk oleh pihak swasta. Kesemuanya ditujukan untuk mendorong atau memajukan kegiatan perdagangan, untuk dapat mencapai tingkat perkembangan ekonomi negara yang baik , sehingga kemakmuran masyarakat dapat dicapai seseuai dengan yang diharpakan.
Apabila kita tinjau dari kepentingan kegiatan perdagangan, maka lembaga-lembaga itu ada yang didirikan atau dibentuk untuk :
1.      Mengurus kepentingan-kepentingan perdagangan.
Lembaga yang dibentuk untuk mengurus kepentingan-kepentingan perdagangan, misalnya dalam hal :
a.       Pengurus perijinan;
b.      Penentuan harga eceran tertinggi;
c.       Penentuan standar kualitas barang;
d.      Pengurusan kepentingan perusahaan dalam perolehan hak cipta, paten dan sebagainya.
Misalkan :
1)      Departemen Perindustrian dan Perdagangan
2)      Departemen Kehakiman
3)      Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan sebagainya.
2.      Melayani keperluan informasi atau data-data yang diperlukan dalam perdagangan.
Untuk kepentingan kegiatan usaha yang sedang dijalankan, seringkali perusahaan/badan usaha memerlukan informasi atau data-data perdagangan/bisnis yang benar (akurat), baik dari instansi/lembaga pemerintahan maupun dari lembaga-lembaga lain yang kegiatannya berkaitan erat dengan penyajian data bisnis.
Misalkan :
a.         Departemen Perindustrian dan Perdagangan
b.        Departemen Keuangan
c.         Departemen Penerangan
d.        Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
e.         Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI)
f.         Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS)
g.        Lembaga Konsumen
h.        Lembaga Konsultan Pemasaran, dan sebagainya.
3.      Mengorganisasi/mengkordinasi perusahaanmaupun pengusahanya.
Untuk kepentingan kemajuan Perusahaan Nasional, maka seringkali dibentuk lembaga-lembaga (organisasi) yang bersifatnya umum maupun khusus. Yang sifatnya umum dan dapat diikuti oleh para pengusaha dan gabungan usaha nasional, yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN), sedangkan yang bersifat khusus, yaitu :
a. Organisasi Perusahaan Sejenis, seperti
1.        Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (P.H.R.I)
2.        Organisasi Gabungan Pengusaha Kendaraan (ORGANDA)
3.        Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
4.        Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI)
5.        Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI), dan sebagainya.
b. Organisasi Pengusaha, seperti
1.        Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
2.        Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI)

4.      Mengawasi kegiatan perusahaan
Pengawasan terhadap kegiatan bukan ditujukan untuk mempersempit ruang gerak perusahaan, tetapi untuk mendorong agar perusahaan bergerak dalam kegiatan usaha yang sesuai dan tidak mengganggu ketertiban umum maupun stabilitas nasional. Pengawasan ini biasnya dilakukan oleh instansi/lembaga pemerintahan.
5.      Memberikan bimbingan kepada perusahaan.
Kepada perusahaan/badan usaha serta pengusahanya seringkali perlu diberikan bimbingan-bimbingan tertentu terutama dalam hal :
·           teknik;
·           administrasi/manajemen;
·           keuangan;
·           pemasaran;
·           ketenagakerjaan dan sebagainya
6.      Memperhatikan dan membela hak-hak konsumen, dan sebagainya
Konsumen adalah pengguna barang-barang hasil produksi.Dibutuhkannya diberikan penjelasan dan bimbingan dalam pemilihan barang secara efektif dan efisien, sehingga tidak mudah tertipu oleh prosusen atau pedagangyang tidak bertanggungjawab.
Apabila diperhatikan dan dicatat satu persatu, ternya banyak sekali lembaga yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan perniagaan/perdagangan, yang keseluruahan ditujukan untuk membanguntingkat perekonomian yang baik sebagaimana harapan dari seluruh pihak.





















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Birokrasi adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip ideal bekerjanya suatu organinisasi. Pada umumnya birokrasi ini bersifat rigid dan kaku. Namun, birokrasi memiliki fungsi dan peran yang amat penting didalam masyarakat salah satunya adalah melaksanakan pelayanan public. Pelaksanaan birokrasi dalam hal pelayanan public disetiap Negara tentunya berbeda, begitu juga diantara Negara berkembang dengan Negara maju. Di Negara berkembang yaitu Indonesia, pelayanan public yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sepertinya belum bisa dikatakan baik atau maksimal karena tidak sesui lapisan masyarakat yang belum menikmati pelayanan yang ada birokrasinya sangat berbelit-belit.
            Dilihat dari pelayanan transportasi public, Indonesia bias dikatakan kurang memadain, seperti yang kita ketahui dalam penyediaan transportasi umum masih banyak angkutan umum seperti bus atau angkutan perkotaan yang sebenarnya sudah tidak layak untuk digunakan namau tetap digunakan karena alas an kekurangan biaya, maka yang terjadi adalah banyak angkutan umum yang memaksakan muatan untuk mengangkut penumpang sementara keselamatan keselamatan mereka cenderung diabaikan. Contoh lain dari buruknya pelayanan transportasi adalah pelayanan kereta api, meskipun sekarang sudah tidak seluruhnya milik pemerintah tetap saja pelayanan kereta api kelas ekonomi masih kurang memadai karena banyak masyarakat yang naik keatap kereta api  agar tetap bisa menggunakan kereta api sebagai transportasi umum. Padahal sudah jelas, hal itu sangat membahayakan keselamatan para penumpang. Mereka nekat melakukan ini karena harga karcis ekonomi sangat murah dibandingkan dengan kereta jenis lain dan angkutan umum lain seperti bus.


B.       Saran
            Kami sangat mengharapkan saran, kritik, masukan dari rekan-rekan, Dosen maupun yang membaca isi makalah ini, yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini terimakasih.
           



























DAFTAR PUSTAKA

Adji,Oemar Seno, 1991, Etika Profesional dan Hukum Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga
Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma
Maulan,Achmad, dkk, 2008, Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: Absolut
Notodisoerejo,Soegondo, 1982,  Hukum Notariat di Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo Persada
Rahardjo,Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Saleh, K.Wantjik, 1976, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Simbur Cahaya
Suprapto,Hartono Hadi, 1993, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Supriadi, 2006,  Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika
Sutiyoso,Bambang dan Puspitasari, sri Hastuti, 2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press
T. Kansil,C.S., 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Tobing,Lumban, 1996, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga
Tutik,Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustakarya
Wikpedia Indonesia (Ensiklopedia Bebas)
Winarta, Frans Hendra, 14 Juni 2006, Dimensi Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum. www.komisihukum.go.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar