BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak Indonesia merdeka hingga saat
ini perubahan sistem partai politik dan pemilihan umum sangat dinamis. Hal ini
wajar mengingat Indonesia sedang dalam masa transisi demokrasi. Masyarakatnya
yang sangat plural dan menghendaki agar setiap masyarakat tersebut ada
perwakilannya dalam menyalurkan aspirasi politik membuat banyak timbulnya
berbagai partai politik di Indonesia.
Partai politik yang timbul pada
akhir abad ke-18 dan abad ke-19 di Eropa Barat ini merupakan wujud pendobrakan
tradisi kegiatan politik yang pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok
dalam parlemen yang bersifat elitis dan dikuasai oleh kaum aristokrasi untuk
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan.
Awal berdirinya partai politik
adalah terjadinya kegiatan politik di luar parlemen dengan membentuk suatu
panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara pendukungnya. Karena perlunya
memperoleh dukungan dari pelbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok
politik dalam parlemen yang sepaham dengan kepentingannya, maka dibentuklah
partai politik.
B. Rumusan Masalah
1. Kabinet dan
presidensial (1945 – 1950)
2. Kabinet
presidensial demokrasi terpimpin (1959 – 1960)
3. Bentuk –
bentuk kabinet indonesia
4. Jabatan
politik dan jabatan birokrasi
5. Lembaga
poliyik dan birokrasi pemerintahan
6. Partai
politik dan tatanan birokrasio pemerintah
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk dapat
mengetahui sejarah sistempolitik dan birokrasi yang pernah berjalan di
Indonesia
2. Mengerti dan
dapat menjabarkan bentuk kabinet
3. Serta dapat
menjelaskan bentuk dari lembaga yang pernah dijalankan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kabinet Parlementer dan Presidensial (1945-1950)
Kabinet pertama setelah proklamasi
kemerdekaan adalah Kabinet Presidensial yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Kabinet ini disusun berdasarkan UUD 1945. Pada masa ini terjadi desakan dari
pelbagai pihak akibat dari ketidak puasan atas kinerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang belum mencerminkan aspirasi rill dari suara rakyat,
yang pada akhirnya keluarlah Maklumat X Wakil Presiden Moh.Hatta yang menjadi
dasar dari terbentuknya partai-partai politik di Indonesia.
Di bawah UUD 1945 yang mengikuti
sistem pemerintahan Presidensial, ternyata bisa diterapkan pula sistem
pemerintahan Parlementer yang bertolak belakang dengan prinsip Presidensial.
Inilah kali pertama penyimpangan terhadap UUD 45 bisa terjadi.
Kabinet Parlementer pertama dipimpin
oleh Perdana Menteri Syahrir yang dikenal dengan sebutan Kabinet Syahrir I.
Kabinet ini terdiri dari 16 Kementerian. Program kerjanya antara lain:
1.
Menyempurnakan sistem pemerintahan daerah berdasarkan
kedaulatan rakyat
2.
Mencapai koordinator segala tenaga rakyat dalam usaha
menegakkan negara RI serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan
perikemanusiaan
3.
Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat
4.
Berusaha mempercepat penyelesaian tentang hal keuangan
Indonesia
Kabinet Syahrir ini berlangsung
sampai tiga dekade (Kabinet Syahrir 3). Setelah Kabinet Syahrir 3 ini jatuh
lalu disusul dengan terbentuknya Kabinet Amir Syarifuddin. Amir memimpin
kabinet selama dua dekade. Program kerja Kabinet Amir baik yang pertama ataupun
yang kedua tidak pernah diumumkan.
Dengan berakhirnya Kabinet Amir
Syarifuddin 2 maka sistem kabinet kembali ke Kabinet Presidensial yang dipimpin
oleh Wakil Presiden Moh.Hatta sebagai Perdana Menteri yang tidak berpartai.
Setahun setelahnya, ibukota
Yogyakarta diserang oleh Belanda. Akibatnya Presiden memberikan mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera yang
dikenal dengan Kabinet Pemerintah Darurat yang berakhir pada tanggal 13 Juli
1949.
B. Kabinet Presidensial - Demokrasi Terpimpin (1959 –
1960)
Pada tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan
Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 45. Isi pokok Dekrit tersebut
adalah:
1.
Menetapkan pembubaran konstituante
2.
Menetapkan berlakunnya UUD 1945 bagi segenap bangsa
Indonesia
3.
Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan golongan
dan daerah
4.
Membentuk Dewan Pertimbangan Agung sementara.
Sejak saat itu peran Presiden sangat
kuat untuk membentuk dan memimpin pemerintahan. Kabinet seperti yang ditetapkan
dalam UUD 45 adalah Kabinet Presidensial. Presiden sebagai kepala pemerintahan
memimpin kabinet dan tidak bertanggung jawab kepada DPR. Para menteri addalah
pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Kabinet pertama yang dibentuk
Presiden setelah kembali ke UUD 45 adalah Kabinet Kerja yang dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.153 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959.
Dipimpin oleh Perdana Menteri Presiden Soekarno sendiri dengan menteri pertama
dijabat oleh Ir. H. Djuanda. Dalam kabinet ini ada sebutan Menteri-menteri
Kabinet Inti, Menteri Negara Ex-Officio bukan anggota inti kabinet, dan para
menteri muda yang berada di bidang-bidang tertentu.
Sejak Dekrit dan kembalinya ke UUD
45 susunan kabinet tidak menonjolkan partai politik. Bahkan sejak pemikiran
politik Presiden Soekarno diikuti oleh semua kekuatan politik yang ada saat itu
untuk menyederhanakan partai-partai politik menjadi kekuatan politik Nasakom,
maka praktis peran partai politik menjadi pengikut dan menjadi pembenar
aspirasi politik Bung Karno.
C. Bentuk-bentuk Kabinet di Indonesia
Selama Indonesia merdeka dan pemerintahan
dijalankan sendiri oleh bangsa kita, Undang-undang Dasar yang dipergunakan baru
dua macam, yakni UUD 1945 dan UUD Sementara 1950. Pada tahun-tahun pertama UUD
45 diberlakukan bentuk kabinet presidensial sangat sederhana. Pada kabinet
pemerinyahan Orde Baru yakni berlakunya Demokrasi Pancasila bentuk kabinet dan
jumlahnya semakin bertambah. Istilah departemen mulai dipakai untuk mengganti
sebutan kementerian.
Pada kabinet Pembangunan I Menteri
Negara dipergunakan lagi untuk jabatan menteri yang membantu presiden di
bidang-bidang tertentu. Pada kabinet Pembangunan Tiga mulai dipakai lagi
istilah dan jabatan Menteri Muda.
Kabinet Yang
Pernah Berlaku Di Indonesia (Sebelum
Kepemimpinan Presiden Suharto)
JAMAN ORDE LAMA(ORLA)
1.
Kabinet Natsir masa bakti
: 6 September 1950-27 April 1951
·
Perdana
Menteri = Mohammad Natsir dr partai Masyumi
·
Wakil
Perdana Menteri = Hamengku Buwono IXNon partai
2.
Kabinet Sukiman-Suwirjo masa bakti
: 27 April 1951-3 April 1952
·
Perdana
Menteri = Sukiman Wirjosandjojo
·
Wakil Perdana
Menteri = Suwirjo
3.
Kabinet Wilopo masa bakti
: 3 April 1952-30 Juli 1953
·
Perdana
Menteri = Wilopo
·
WakilPerdana
Menteri = Prawoto Mangkusasmito
4.
Kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama masa bakti : 30 Juli 1953-12 Agustus 1955
·
Perdana
Menteri = Ali Sastroamidjojo
·
Wakil
Perdana Menteri = Wongsonegoro dan Zainul Arifin
·
Perdana
Menteri = Burhanuddin Harahap
·
Wakil
Perdana Menter = R. Djanu Ismadi dan Harsono Tjokroaminoto
6.
Kabinet ALI sastroadmidjojo ke 2 masa bakti : 24 Maret 1956-14 Maret 1957
·
Perdana
Menteri = Ali Sastroamidjojo
·
Wakil
Perdana Menteri = Mohammad Roem dan Idham Chalid
7.
KABINET DJUANDA masa
bakti : 9 April 1957 -10 Juli 1959
·
Perdana
Menteri = Djuanda dan Hardi
·
Wakil
Perdana Menteri = Idham Chalid dan J. Leimena
JAMAN ORDE BARU(ORBA)
1.
Presiden Soeharto, nama kabinetnya sama, yaitu
·
Kabinet Pembangunan I sampai ada Kabinet Pembangunan VII, 6 Juni 1968-9 September 1971)
·
Sampai
Kabinet Pembangunan VII (16 Maret 1998-21 Mei 1998).
2.
Presiden BJ Habibie menamakan
·
Kabinetnya Kabinet Reformasi Pembangunan (23 Mei
1998 - 23 Oktober 1999),
JAMAN ORDE REFORMASI(ORREF)
1.
Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
·
Kabinetnya
Kabinet Persatuan Nasional (23 Oktober 1999-9 Agustus 2001)
2.
Presiden Megawati Soekarnoputri
·
Kabinet Gotong Royong (9 Agustus
2001-19 Oktober 2004.
3.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
·
Kabinet Indonesia Bersatu I ( 20 Oktober 2004- 2009)
·
Kabinet Inonesia Bersatu II (21 Oktober 2009 - 20 Oktober 2014).
Selama 32
tahun berkuasa Soeharto telah tujuh kali membentuk kabinet, yang dinamainya. Kabinet Pembangunan I (6 Juni 1968-9 September 1971) sampai Kabinet
Pembangunan VII (16 Maret 1998-21 Mei 1998). Kabinet Pembangunan VII inilah yang paling singkat
usianya, karena Soeharto keburu lengser.
D. Jabatan Politik dan Jabatan Birokrasi
Birokrasi dan politik sebagai dua
institusi yang berbeda namun sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling memberikan
kontribusi bagi pelaksanaan pemerintahan daerah yang baik. Institusi politik
dan birokrasi melakukan proses check and balance agar senantiasa berada dalam
koridor esensi otonomi daerah. Interaksi antara kedua institusi tersebut
melahirkan pola relasi yang dinamis konstruktif, namun disisi lain menampakkan fenomena
sebaliknya, yaitu adanya “perselingkuhan” yang meminggirkan kepentingan publik.
Sebagaimana dikemukakan di atas
bahwa institusi politik dan birokrasi merupakan institusi yang berbeda
karakternya. Birokrasi sebagai suatu sistem organisasi formal dimunculkan
pertama sekalioleh Weber pada tahun 1947, menurutnya, birokrasi merupakan tipe
ideal bagi semua organisasi formal. Ciri organisasi yang mengikuti sistem
birokrasi adalah pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal,
kekuasaan hirarkis, peraturan-peraturan, karir yang panjang, dan efisiensi.
Sedangkan institusi politik berkarakter demokrasi yang ditandai oleh adanya
kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berbicara, menulis, berkumpul
dan berorganisasi, dan perdebatan-perdebatan politik.
Perbedaan kedua institusi ini telah
dikemukakan oleh Wilson (1887-1941) dan Goodnow (1990), dimana politik ada
dalam ranahkebijakan (policy) dan birokrasi di ranah administrasi
(administration). Perbedaan kedua institusi tersebut tentunya akan melahirkan
pola relasi yang dinamis. Dinamika terjadi ketika proses politik berlangsung,
saat birokrasi dan politik sama-sama menjalankan proses penyusunan
aturan-aturan seperti undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya. Kemudian
intensitas relasi dinamis juga terjadi saat birokrasi menjalankan fungsi
implementasi kebijakan berhadapan dengan institusi politik yang melakukan
pengawasan.
Pola relasi yang dinamis antara
politik dan birokrasi terjadi ketika ada keseimbangan relasi diantara keduanya.
Pola relasi yang seimbang bukan pola relasi yang saling mengkooptasi atau
berkolaborasi diatas kepentingan masing-masing dengan meninggalkan kepentingan
masyarakat. Pada dasarnya institusi politik dengan nilai demokrasi dan
birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam prosespembangunan suatu daerah,
akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam daerah makaakan semakin rendah
demokrasi lokal dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akansemakin tinggi
demokrasi.
Realita saat ini di Indonesia
merefleksikan kesamaan substansi pola relasi politik – birokrasi dalam
kebanyakan negara berkembang yang tengah berada dalam fase transisi demokrasi.
Hal tersebut dapat ditemui dalam ciri-ciri relasi politik – birokrasi
sepertipraktek lobi-lobi untuk mencari posisi jabatan, intervensi politik dalam
penentuan jabatan, dan ketidaknyaman pejabat birokrasi daerah yang berada dalam
arena permainan politik daerah. Eforia demokrasi menyebabkan para politisi
justru keluar dari esensi demokrasi dengan memanfaatkan momentum tersebut untuk
kepentingan pribadi dan golongan. Birokrasi pun akhirnya menyambut perilaku
politik tersebut, sehingga berakhir dengan “perselingkuhan” yang mengkhianati
rakyat.
Kondisi pemerintahan daerah di
negara-negara yang tengah bertransisi dari otoriter ke demokrasi ditandai oleh
fenomena diantaranyaterjadi peningkatan dominasi lembaga politik terhadap
birokrasi. Lembaga–lembaga politik, seperti parlamenter, partai politik,
dankelompok kepentingan mengalami peningkatan kekuatan dan mampu melakukan
kontrolterhadap birokrasi. Pada sisi lain, masa diluar birokrasi secara politis
dan ekonomis pasif, sehingga menyebabkanlemahnya peranan mereka untuk
mengontrol perilaku menyimpang institusi politik dan birokrasi.
Ketika relasi politik dan birokrasi
tidak berkembang ke arah sinergisitas untuk keberhasilan pembangunan di daerah,
maka dapat disimpulkan bahwa kedua institusi tersebut cendrung
dipertanyakankemampuannya untuk melaksanakan pembangunan,terutama pembangunan
yang mampu mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolakeksternal sehingga bisa
mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai, yang dapatmendistribusikan secara
merata hasil dari perjuangan masyarakat tersebut.
Relasi politik – birokrasi,
sebagaimana dijelaskan Toha diatas, memang sulit dihindarkan bahkan dapat
dikatakan mustahil. Termasuk menghilangkan motif politik dalam tubuh birokrasi.
Birokrasi bahkan telah menjadi kekuatan politik dengan posisinya sebagai
pemilik jaringan struktur hingga ke basis masyarakat, penguasaan informasi yang
memadai, dan kewenangan eksekusi program dan anggaran. Eksistensi birokrasi
sebagai alat atau mekanisme untuk mencapai tujuan yang baik dan efisien dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau motif politik tertentu.
Situasi ini digambarkan oleh
Fredrickson (2004)yang menunjukkan masuknya peranan pejabat politik dalam
menata administrasi pemerintahan. Situasi, politisasi birokrasi ini terjadi
khususnya dalam Pilkada, cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan
berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang
berkuasa. Dominasi peran oleh pejabat politik dalam periode ini berada dalam
posisi yang sangat kuat (legislative heavy) karena sudah memposisikan diri
sebagai lembaga pengambil keputusan dan penentu tindakan politik sebagai
cerminan preferensi atau kehendak rakyat yang diwakili.
Kepala daerah sebagai pejabat
Pembina birokrasi di daerah justri memanfaatkan birokrasi sebagai alat untuk
mewujudkan kepentingan politik dan partai politik. Kondisi ini justru
menempatkan birokrasi pada posisi subordinasi politik. Dalam pada itu,
birokrasi dalam batas tertentu memang sudah memiliki komitmen untuk
menjaga netralitasnya terhadap kekuatan politik dan golongan yang dominan
sehingga betul-betul bisa berperan secara objektif sebagai abdi negara dan
masyarakat. Namun komitmen tersebut baru sebatas slogan belaka, karena
ketidakberdayaan birokrasi terhadap pejabat Pembina PNS tersebut yang
notabenenya adalah pejabat politik di daerah.
Hal ini yang kemudian menjadikan
birokrasi sekaligus menjadi instrument of power yang tidak lepas dari
kepentingan sumber kekuasaan itusendiri. Aktivitas birokrasi akan dipengaruhi
oleh perubahan kepentingan internalorang-orang yang ada di dalamnya.Birokrasi
sebagai kekuatan politik sarat dengan kepentingan politik seperti
mempertahankan kekuasaan. Para pejabat birokrasi daerah dalam pemerintahan
senantiasa menjalankan berbagai strategi dan inovasi untuk memelihara agen-agen
dan posisi politiknya. Ada tiga klasifikasi strategi (Wilson, 1989) yang biasa
digunakan untuk mencapai tujuan politik mereka, yaitu melakukan advokasi
(advocate), melalui pembuatan keputusan (decision makers), dan memangkas
anggaran (budget-cutters). Selain strategi di atas, para pejabat birokrasi
daerah juga melakukan inovasi-inovasi dalam menjalankan kekuasaannya. Inovasi
ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi situasi dan kondisi serta proses yang
dihadapi oleh organisasi pemerintah.
Relasi politik – birokrasi
menunjukkan Pola hubungan bawahan-atasan. Kondisi ini rentan untuk
disalahgunakan. Kepala Daerah dapat mengeluarkan kebijakan apa saja terhadap
birokrasi yang sesungguhnya menjadi “area kerja” internal birokrasi. Seorang
bupati bisa memasukkan dan mendudukkan “orang-orangnya” di jajaran birokrasi.
Akibatnya di berbagai wilayah, Kepala Daerah bersikap layaknya raja yang
bertindak bebas terhadap birokrasi. Bahkan, Kepala Daerah bisa “memainkan”
birokrasi seperti melakukan mutasi, merekrut dan memasang orang-orang
kepercayaan, serta memanfaatkan seluruh instrumen birokrasi untuk
kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Demikian yang nampak pada pola
relasi politik dan birokrasi saat ini.
Relasi politik -birokrasi ditandai
oleh adanya intervensi politik. Secara teoritis, intervensi politik terhadap
birokrasi memang sulit dihindarkan. Ada beberapa penyebab mengapa hal tersebut
dapat terjadi. Pertama, masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan
kekerabatan, politik balas budi, keinginan membagun pemerintahan berbasis
keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat. Kedua, mekanisme
check and balance belum menjadi budaya dan belum dilaksanakan dengan baik.
Ketiga, kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk korup sebagaimana
dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”.Keempat, rendahnya
kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap birokrasi. Kelima, kondisi
kesejahteraan aparat birokrat atau PNS di daerah yang rendah cenderung
melahirkan praktek rent seeking melalui aktivitas politik tersembunyi demi
mendapat income tambahan. Keenam, perangkat aturan yang belum jelas dan mudah
dipolitisasi, seperti lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum
melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap
jabatan kepala daerah dengan ketua umum parpol.
Sebab-sebab sebagaimana dikemukakan
di atas masih sangat kuat terlihat di daerah di Indonesia. Implikasinya, pola
relasi politik dengan birokrasi cenderung berjalan secara tidak sehat. Relasi
politik - birokrasi tidak pada posisi balance, kebijakan-kebijakan yang
dilaksanakan oleh pejabat birokrasi atas arahan politik banyak yang tidak
sesaui mekanisme dan persyaratan yang ada, sehingga semakin menjauhkan
profesionalisme dan netralitas birokrasi.
Kurniawan (2009) mengemukakan bahwa
tantangan netralitas dan profesionalisme aparat birokrasi salah satunya kasus
kesewenang-wenangan pejabat politik terhadap pejabat karier. Para pejabat
karier merupakan aparat pelaksana kebijakan pemerintah yang bekerja secara
profesional, sehingga sungguh memprihatinkan jajaran birokrasi ditunggangi
kepentingan politik di luar birokrasi. Oleh karena itu, untuk mempertahankan
sikap netral, maka jajaran birokrasi mau tak mau dituntut bersikap profesional.
Tantangan ke depan bukan bagaimana
memisahkan dengan tegas diantara keduanya, melainkan menciptakan pola relasi
yang seimbang antara politik dan birokrasi. Keseimbangan relasi tersebut harus
berdasarkan pada kejelasan dan keseimbangan antara peran dan tanggung jawab
kedua institusi tersebut. Hal ini sebagaimana tawaran solusi dari Carino (1994)
agar relasi politik-birokrasi ditempatkan dalam pola bureaucratic
subllation.Tipe inimengacu pada relasi yang relatif sejajar dan seimbang antara
politisi dengan birokrasi. Pola ini dilatarbelakangai oleh pemahaman bahwa
birokrasi bukanlah sekedar entitas yang menjadi instumen atau alat untuk
melaksanakan kebijakan publik. Birokrasi yang terlatih secara profesional
memiliki sumberdaya dan power tertentu dari kedudukannya sebagai pejabat
pemerintah. Birokrasi biasanya memiliki perjalanan karier yang lebih panjang
dibandingkan dengan politisi yang bisa saja terpilih secara kebetulan. Argumen
bureaucratic subblation adalah, meskipun a politis dan non partisan, birokrasi
juga memiliki power dan sumberdaya tersendiri saat berhadapan dengan pejabat
politik, terutama terkait dengan kemampuan profesionalnya. Konsekuensinya,
birokrasi tidak sekedar menjadi subordinasi ranah politik, tetapi juga dapat
menjadi kekuatan penyeimbangnya.
Hadirnya partai politik dalam suatu
sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah.
Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh
para birokrat karier dan ada pula para pejabat politik. Untuk menghindari
konflik antara keduanya maka perlu adanya penataan pada birokrasi pemerintahan,
antara lain:
1. Merumuskan
apa yang dimaksud dengan jabatan politik dan jabatan karier (birokrasi)
2. Melakukan
identifikasi jabatan dan pengklasifikasian jabatan
3. Penetapan
batas-batas tugas, tanggung jawab, dan kewenangan antara kedua jabatan itu
E. Lembaga Politik dan Birokrasi Pemerintah
Departemen pemerintah merupakan
suatu lembaga yang dipimpin melalui jalur politik yang berasal dari partai
politik. Selain organisasi departemen, presiden dibantu pula oleh lembaga
nondepartemen yang dipimpin oleh pejabat karier profesional yang bukan partisan
partai politik. Lembaga nondepartemen ini tidak boleh dipimpin atau dirangkap
oleh menteri, karena keduanya mempunyai hubungan vertikal langsung kepada
presiden.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan
dalam lembaga demokrasi pemerintah ialah kelembagaan pemerintah lokal atau
daerah. Paradigma pemerintahan sekarang berorientasi ke arah perubahan yang
dulunya orientasi kekuasaan masih kuat dan partisipasi serta kontrol rakyat
yang belum berjalan optimal sekarang terdapat banyak kelompok-kelompok
kepentingan rakyat yang saling berkompetisi dalam proses politik manajemen
pemerintahan, serta peran rakyat kini semakin besar. Oleh karena itu,
pemerintah harus menawarkan saluran-saluran akses kepada rakyat untuk
berpartisipasi.
F. Partai Politik dan Tatatanan Birokrasi Pemerintahan
Seperti diketahui bersama semua
partai politik yang ada di Indonesia semenjak tahun-tahun pertama kemerdekaan
adalah miskin dana. Karena itulah partai politik berusaha merebut posisi pada
departemen-departemen tertentu dalam birokrasi pemerintah terutama pada
departemen pengelola sumber daya manusia dan sumber dana. Mereka berusaha
mempengaruhi, menguasai dan mengeksploitasi birokrasi pemerintah beserta
sumber-sumbernya untuk kepentingan partainya.
Setelah pemilihan umum tahun 1955,
gejala seperti itu semakin jelas. Tidak jarang terjadi suatu departemen yang
dipimpin oleh menteri dari partai tertentu, maka seluruh departemen mulai dari
tingkat pusat sampai ke desa menjadi sewarna politik menterinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Partai politik dan birokrasi
pemerintah di Indonesia mulai berinteraksi, berkaitan dan saling terlibat sejak
bulan-bulan awal kemerdekaan. Ketika Maklumat X Wakil Presiden yang dikeluarkan
pada tahun 1945, ketika itu pula mualai dikenal kehidupan partai politik.
Kehadiran partai politik sebagai perwujudan dari kemerdekaan rakyat untuk
berserikat merupakan realisasi dari demokrasi.
Kehadiran partai politik ini
sekaligus memberikan legitimasi dari kehadiran mereka dalam pemerintahan.
Kehadiran mereka dimulai dari hadirnya para menteri yang memimpin kementerian
dalam susunan kabinet pemerintah.
Sejarah kehadiran partai politik dalam pemerintahan
yang dipresentasikan dalam susunan kabinet dapat dimulai dari kabinet pertama
yang bersifat presidensial sampai dengan zaman pemerintahan Orde Baru dan
disusul dengan kabinet zaman reformasi. Susunan kabinetnya dengan mempergunakan
sebutan yang bermacam-macam untuk masing-masing kementeriannya menunjukkan
adanya variasi yang berbeda antara satu sama lainnya. Semenjak peran partai
politik dalam susunan kabinet baik pada sistem parlementer maupun presidensial
sangat menentukkan, maka semenjak itu lokus dan fokus penggunaan kekuasaan
bergerak sesuai dengan gerak bandul pendulum legislatif dan eksekutif.
Gerakan pendulum bergerak antara
titik kekuasaan yang berada di eksekutif, kemudian bergerak pindah di
legislatif, bergerak lagi ke eksekutif, dan sekarang tampaknya berada di
legislatif lagi. Para pelakunya tidak ada lain kecuali partai politik, pegawai
birokrasi pemerintah, dan militer.
B.
Saran
Dilihat
dari pelaksanaannya, birokrasi politik di Indonesia saat ini bisa dikatakan
masih jauh dari tipe ideal birokrasi, maka dari itu perlu ditekankan harus
adanya perubahan menyeluruh terhadap pelaksanaan birokrasi di Indonesia.
Untuk
memayungi reformasi birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara
lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan
demikian, proses reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya
legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk
membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke
better government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat
lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good
governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Sahya. 2013. Sistem Politik Indonesia.Bandung : CV.
Pustaka Setia.
Gatara, AA Said. Ilmu Politik, Memahami dan Menerapkan.
Bandung : CV. Pustaka Setia
Gatara, AA Said. Sosiologi Politik. Bandung : CV. Pustaka
Setia
www.wikipedia.com, Pengertian
Birokrasi menurut beberapa ahli.
*Kumpulan artikel politik. 2011
Agung, Anak Agung Gde Putra,2001, Peralihan
Sistem Birokrasi dari
Tradisional ke Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Laporan Penelitian, Perkembangan Sejarah Birokrasi di
Indonesia,Agus Suryono PENDEKATAN KULTURAL DAN STRUKTURAL DALAM REALITAS
BIROKRASI DI Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar